ULASAN NOVEL "SEEKOR BURUNG KECIL BIRU DI NAHA" KARYA LINDA CHRISTANTY
Judul Buku : Seekor Burung Kecil Biru di naha
Jumlah Halaman : xi + 134 halaman
Tahun Terbit : 2015
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Penulis : Linda Christanty
Penyunting : Christina M. Udiani
Penata Letak : Aldy Akbar dan Wendie Artswerda
Perancang Sampul : Deborah Amadis Mowa
Penulis buku ini, Linda Christanty adalah Sastrawan dan wartawan. Ia lahir di Pulau Bangka, Provinsi Kep. Bangka Belitung. Dia menulis cerpen, puisi,esai, dan reportase. Karya Karyanya meraih berbagai penghargaan, termasuk penghargaan satra Nasional maupun Asia tenggara. Dia memperoleh 2 kali Khatulistiwa Literary Award untuk kategori Buku Fiksi Terbaik, yaitu cerpennya Kuda Terbang Maria Pinto (2004) dan Rahasia Selma (2010). Dia juga meraih 2 kali pengahrgaan Prosa dari Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia untuk buku esainya Dari Jawa Menuju Atjeh (2010) dan cerpennya Seekor Anjing Mati di Bala Murghab (2013).
Melalui buku ini, Penulis mengajak kita menjelajah dimensinya, hubungan manusia dari berbagai kawasan. Setiap peristiwa yang terekam tidak hanya menuturkan dinamisme hubungan manusia akibat konflik, tragedi, dan rekonsisliasi. Bukunini menceritakan Seorang wanita yang bernama Khatijah Binti Amir, Ia merupakan salah satu wanita yang melihat kekejaman GAM pada masa itu. Di dalam rumah tetangganya sering terjadi penyiksaan kepada orang yang tunduk pada kaum Pidie. Khatijah Juga merasakan sendiri kekejaman penyiksaan GAM, Padahal suaminya sendiri merupakan salah satu pencetus gerakan GAM dan Khatijah merupakan Kaum Pidie. Meskipun begitu kaum pidie begitu kejam pada masa itu. Tak hanya itu para Ulee Balang (Bangsawan Aceh), mereka juga disiksa bahkan dibunuh oleh kaum Pidie. Tak hanya para Ulee Balang keluarga dan orang terdekatnya juga mereka bunuh. Setelah sekian lama akhirnya Pemerintah Indonesia dan para anggota GAM melakukan perdamaian dan mereka menyutujuinya. Namun, perdamaian tersebut tidak akan kekal karena bagi warga Aceh, Saat Aceh merdeka itulah perdamaian yang sesungguhnya. Meskipun telah melakukan perdamaian anggota GAM masih tetap mengancam keselamatan warga Aceh. Bahkan saat akan ada pemilu warga di beri seberan kertas yang tergeletak dan bertuliskan “Malam ini makanlah dengan enak, tidurlah dengan nyenyak, besok kalian sudah tidak ada”. Maka karena surat ancaman tersebut warga berbondong bondong untuk mengungsi ke tempat pengungsian untuk sementara. Setelah lama tersiksa warga memutuskan untuk melakukan perdamaian, hal tersebut dilakukan antara rakyat Aceh dan Anggota GAM dan tidak perlu mendatangkan TNI, karena anggota TNI bagi masyarakat pesisir merupakan orang Jepang dan dianggap musuh oleh mereka, sedangkan bagi para penjual sayuran di pondok sayur anggota TNI merupakan idola bagi mereka.
Novel ini mengajar kepada kita pentingnya rasa kebersamaan sesama warga dan perdamaian di tempat tinggal kita. Dengan mengahrgai hak orang lain dan bersikap dengan sopan di lingkungan kita tinggal. Novel ini mengajarkan tentang sikap dan moral manusia yang harus dilakukan dan yang tidak seharusnya dilakukan.
Dalam novel ini alur cerita dan kata katanya agak ribet dan sulit untuk ditebak sehingga membuat pembaca penasaran dengan kejadian selanjutny dan membuat pembaca tertarik untuk membacanya. Ada beberapa kata yang masih menggunakan bahasa daerah yang kurang dimengerti oleh pembaca dan ada kata kata yang salah ketik/typo.
Buku ini sangat bagus untuk dibaca oleh anak anak remaja karena ada pesan pesan moral yang sangat dalam jika dicermati dengan teliti. Buku ini mengajarkan kita untuk bersyukur karena sekarang bukan zaman yang seperti dulu yang banyak menumpahkan darah dan banyak nyawa melayang karena kekejaman Penjajahan atau sikap suatu penduduk yang ingin merdeka sendiri. Jangan sampai sekarang hal tersebut terulang lagi karena generasi zaman sekarang adalah generasi yang bebas dari penjajahan.
(Danu Aji. 03/8J)
Komentar
Posting Komentar